Sebagai penyakit baru, banyak yang belum diketahui tentang Covid-19 (asal mula sumber penularan, proses mutasi virus, obat/vaksin). Manusia cenderung takut pada sesuatu yang belum diketahui dan lebih mudah menghubungkan rasa takut pada “individu/kelompok yang lain/berbeda” (reaktif dan sensitif). Inilah yang menyebabkan munculnya stigma terhadap etnis tertentu dan juga orang yang dianggap mempunyai hubungan dengan virus ini. Perasaan bingung, cemas, dan takut yang dirasakan dapat dipahami, namun bukan berarti dibolehkan berprasangka buruk pada penderita, perawat/dokter, keluarga, ataupun mereka yang tidak sakit tetapi memiliki gejala mirip Covid-19.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), stigma yaitu ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya. Stigma mengakibatkan labelling*, stereotip*, prasangka dan diskriminasi. Stigma dibedakan menjadi 2 jenis (Rusch, et al., 2005 dalam Sewilam et al., 2015) yaitu :
- Stigma masyarakat (public stigma/stigma interpersonal) yaitu keyakinan yang menimbulkan prasangka negatif sehingga mengakibatkan diskriminasi dari masyarakat
- Stigma diri (self stigma) yaitu pandangan negatif pada diri sendiri, sehingga emosional dan berperilaku menghindar.
Baik stigma masyarakat maupun stigma diri, keduanya berpengaruh terhadap proses penyembuhan penyakit. Munculnya stigma terhadap orang yang berhubungan dengan Covid-19 (OTG, ODP, PDP, Positif Terkonfirmasi), berakibat terhadap mental dan penyebaran penyakit. Stigmatisasi menyebabkan imunitas menurun dikarenakan stres (rasa tertekan/ketakutan) akan penolakan masyarakat. Pada tingkat yang lebih parah, stigma bisa membuat seseorang menghindari pertolongan, pemeriksaan, pengujian, ataupun karantina, sehingga penularan virus menjadi semakin tidak terkendali.
Secara rinci, dampak dari stigma Covid-19, antara lain :
- Mendorong seseorang untuk melakukan hal yang sebenarnya tidak diperlukan untuk mencegah infeksi Covid-19 (akibat pengaruh berita yang ada di masyarakat)
- Mendorong masalah kesehatan mental baru (akibat kecemasan, ketakutan dan depresi di tengah pandemi Covid-19) sehingga mengakibatkan munculnya dampak lanjutan, yaitu dampak sosial ekonomi
- Membuat seseorang menjadi takut mengakses layanan kesehatan, menghindari pemeriksaan saat mengalami gejala Covid-19 dan menyembunyikan status surveilansnya (OTG, ODP, PDP, konfirmasi +)
- Membuat tenaga kesehatan dijauhi dan kehilangan akses terhadap lingkungan tempat tinggalnya
- Memunculkan double burden (beban kerja ganda) pada tenaga kesehatan sehingga memperberat pekerjaan
Sebaliknya, pasien/orang – orang yang berhubungan dengan Covid-19, perlu didukung untuk sembuh dan mampu menjalankan tugasnya dengan rasa aman dan nyaman. Terutama dukungan dari orang-orang terdekat seperti keluarga dan tetangga sekitar. Dukungan sekecil apapun akan memberi rasa aman dan nyaman sehingga mempercepat proses pemulihan.
Hal – hal yang perlu dilakukan agar tidak mudah memberi stigma
- Menggunakan fakta : Memberitahukan fakta tentang gejala, cara penularan, pencegahan, penanganan termasuk pilihan perawatan dan informasi kesehatan (bisa diakses mudah melalui sosial media dari sumber terpercaya) akan meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang Covid-19.
2.Mendengarkan arahan tokoh masyarakat yang memberi dukungan / pesan untuk tidak melakukan pembiaran stigma
3. Menyebarkan kisah mengenai orang-orang yang telah sembuh dari Covid-19 (tindakan ini juga turut mengapresiasi para petugas kesehatan yang telah berjuang dalam merawat Pasien Covid-19)
*labelling = memberikan label atau penamaan berdasarkan perbedaan individu yang dianggap tidak relevan dalam kehidupan sosial, sehingga diberikan cap negatif oleh masyarakat
*stereotip = penilaian terhadap seseorang berdasarkan persepsi terhadap kelompok
Salam Germas : Sehat, Bugar Produktif!