Dinas Kesehatan Kota Surakarta

Bangkit Indonesiaku, Sehat Negeriku

Sejarah Diperingatinya Hari TBC Sedunia

Tanggal 24 Maret merupakan hari bersejarah dimana seorang ilmuwan asal Jerman, Robert Koch, menemukan kuman TBC untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia di tahun 1882. Kuman itu bernama Micobacterium Tuberculosis. Koch menemukan kuman itu ketika banyak warga Eropa yang menderita penyakit paru-paru misterius mematikan. Sumbangsih Koch menemukan kuman penyebab penyakit TBC merupakan hal yang sangat bernilai bagi dunia kesehatan dan umat manusia. Dengan ditemukannya kuman penyebab TBC, para peneliti mulai bisa menciptakan obat untuk menyembuhkan TBC. Oleh sebab itu, hingga saat ini, setiap tahunnya selalu diperingati Hari TBC Sedunia untuk membangun kesadaran masyarakat tentang penyakit TBC.

Tahun 2023 ini, hari TBC sedunia diperingati dengan tema “Yes! We can End TB”, sedangkan di indonesia tema yang diangkat yaitu “Ayo! Bersama Akhiri TBC, Indonesia Bisa!”. Tema ini dipilih untuk membawa harapan bahwa kita memiliki kekuatan bersama untuk mengakhiri TBC pada tahun 2030 dan dapat mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan / Suistanable Development Goals (SDG’s).

Kasus TBC di Dunia dan Indonesia

Tuberculosis (TBC) merupakan penyakit menular yang berpotensi serius dan umumnya menyerang paru-paru. Penyebab tuberkulosis sendiri adalah infeksi dari bakteri Mycobacterium tuberculosis (M.tb). Penyakit ini masih menjadi masalah kesehatan global. Estimasi jumlah orang terdiagnosis TBC tahun 2021 secara global sebanyak 10,6 juta kasus atau naik sekitar 600.000 kasus dari tahun 2020. Dari 10,6 juta kasus tersebut, terdapat 6,4 juta (60,3%) orang yang telah dilaporkan dan menjalani pengobatan dan 4,2 juta (39,7%) orang lainnya belum ditemukan/ didiagnosis dan dilaporkan. Dari total 10,6 juta kasus di tahun 2021, setidaknya terdapat 6 juta kasus pada pria dewasa, 3,4 juta kasus pada wanita dewasa dan kasus TBC pada anak-anak, sebanyak 1,2 juta kasus.

Indonesia berada di posisi kedua dengan jumlah kasus TBC terbanyak di dunia setelah India, diikuti oleh China. Pada tahun 2020, Indonesia berada di posisi ketiga dengan jumlah kasus terbanyak. Pada tahun 2021, kasus TBC di Indonesia diperkirakan sebanyak 969.000 kasus TBC (satu orang setiap 33 detik). Angka ini naik 17% dari tahun 2020, yaitu sebanyak 824.000 kasus. Insidensi kasus TBC di Indonesia adalah 354 per 100.000 penduduk, yang artinya setiap 100.000 orang di Indonesia terdapat 354 orang di antaranya yang menderita TBC. Jumlah penderita dengan resistensi obat sebanyak 28.000 kasus. Sadangkan angka kematian sebanyak 144.000 kasus. Jumlah kasus TBC yang ditemukan dan dilaporkan ke Sistem Informasi TB (SITB) tahun 2022 sebanyak 717.941 kasus dengan cakupan penemuan TBC sebesar 74% (target: 85%). Angka keberhasilan pengobatan sebesar 86%. Meskipun masih di bawah target global (90%) yang ditetapkan oleh WHO, namun angka keberhasilan pengobatan TBC di Indonesia selalu naik setiap tahunnya. Hal ini menjadi harapan bahwa Indonesia mampu mengakhiri penyakit TBC.

Penularan dan Faktor Resiko Terjangkit Penyakit TBC

TBC ditularkan melalui percikan dahak (drophlet) saat penderita batuk atau bersin.

Beberapa faktor yang dapat meningkatkan resiko terjangkit penyakit TBC :

Jenis Penyakit TBC

Jenis TBC dibedakan menjadi 2, yaitu TB Pasif dan TB Aktif.

Seseorang yang terinfeksi TBC dimana bakteri pada tubuhnya dalam keadaan tidak aktif dan tidak menimbulkan gejala (tidak menular). TBC pasif dapat berubah menjadi aktif, sehingga pengobatan tetap penting bagi penderita TBC pasif yang nantinya juga dapat membantu mencegah penyebaran/penularan TBC.

Seseorang yang menderita penyakit TBC dan dapat menularkannya ke orang lain. TBC dapat langsung aktif pada minggu pertama setelah infeksi atau terjadi pada tahun selanjutnya.

Adapun gejala dan tanda penyakit pada penderita TBC aktif yaitu :

Pencegahan Penularan TBC

Beberapa upaya yang dilakukan untuk mencegah penularan TBC yaitu :

Pengobatan TBC

Yaitu dengan pemberian Obat Anti Tuberkulosis (OAT) selama 6 bulan atau lebih sesuai dengan kondisi perkembangan penyakit TBC. Pengobatan tidak boleh dihentikan sendiri oleh pasien apapun alasannya. Jika pengobatan dihentikan sendiri, maka akan menjadi kasus TBC putus berobat. Dalam hal ini, ada beberapa kemungkinan yaitu:

Menghentikan pengobatan OAT TB sangat beresiko. Bukan hanya resiko mengulang pengobatan dari awal, tetapi juga resiko kuman akan menjadi kebal dan menjadi TBC Multi Drugs Resistance (MDR) / TB Extensively Drug Resistance (XDR) yaitu kuman TB yang resisten / kebal terhadap OAT, bisa mematikan serta sangat sulit diobati.

TB MDR juga lebih berisiko terjadi pada seseorang yang sebelumnya pernah terkena TB, sistem kekebalan tubuh yang lemah, kontak dengan penderita TB MDR dan berasal dari daerah dengan kasus TBC resisten obat yang tinggi.

Pengendalian kasus TB MDR di Indonesia diawali dengan penemuan kasus terduga TB resisten obat. Seseorang diduga menderita TBC resisten obat jika memiliki kondisi sebagai berikut:

Jika mendapati kondisi di atas, segera ke dokter untuk mendapat pemeriksaan lanjutan.

Setelah dokter melakukan pemeriksaan dan dinyatakan menderita TB MDR, segera mulai pengobatan dengan lama pengobatan antara 19–24 bulan.

Mari bersama cegah penularan TBC dan dampingi penderita agar tidak putus berobat!

Kita, Pasti Bisa!

#AkhiriTBC2030 
#BersamaAkhiriTBC
#YesWeCanEndTB
#TOSSTBC

#IndonesiaBisa
#141CekTBC 
#1JutaAnakSkriningTBC

SUMBER

World Health Organization (WHO) 2018.

Https://Www.Alodokter.Com
Https://Mediaindonesia.Com

World Health Organization (WHO) Global Report 2022

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

World Health Organization (WHO) 2014

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *